"Dalam gelap yang begitu pekat, cahaya mampu bersinar menembus dinding keras, meski lewat celah-celah kecil sekalipun."
“Kita turun di sini ya! Lebih aman.”
Dengan pasrah, Maryumah berjalan mengikuti
suaminya untuk turun dari andong yang membawanya dalam perjalanan yang melelahkan.
Untung saja, tadi Umar melihat ketika ada teng rombongan tentara Jepang yang
akan melintasi jalan yang sama dengan mereka. Semak belukar, dan hutan jati
terpaksa mereka lewati dengan berjalan kaki.
Umar berjalan di samping Maryumah. Nampak
jelas di wajah Istrinya, bahwa ia sangat kelelahan.
“Kita berhenti dulu di sini!” seru Umar,
seraya menggandeng istrinya untuk duduk di atas batu.
Maryumah mendekap putri sulungnya dengan
tangan kanannya, sedangkan tangan sebelah-nya sibuk menyeka keringat yang mulai
membanjiri dahinya.
“Sabarlah, sebentar lagi sudah sampai.” ucap
Umar.
Entah berapa kilo meter lagi ia harus
melangkah kakinya yang mulai kelelahan, di tambah lagi ia berjalan tepat matahari
di atas kepala mereka. Maryumah mencoba menahan rasa mual, dan nyeri yang sesekali datang. Ia tahu apa
yang di lakukan Umar, untuk keselamatan ia dan anaknya.
***
Umar nampak begitu gagah, tapi bukan di mata Maryumah sebagai istrinya,
melainkan di mata penduduk yang menggantungkan nasibnya selama dua tahun ini.
Suaminya kini bertugas sebagai pimpinan gerakan pemuda Hasbullah di desa
Kencong, Jember. Kesibukannya, membuatnya jarang membacakan Maryumah buku
cerita roman lagi, yang dulu ia lakukan setiap menjelang tidur. Meski, istrinya
kini sudah pandai membaca buku berbahasa Indonesia.
Setiap malam, Maryumah di penuhi dengan
perasaan kekhawatiran. Ia tak sengaja mendengar percakapan anggota gerakan
Hasbullah, bahwa suaminya sudah mulai menjadi incaran tentara jepang. Malam di
tempat ini begitu gelap, penduduk takut untuk menyalakan lampu templok. ada
perasaan ia ingin kembali ke tempat kelahirannya, tapi ia tak mungkin sanggup
meninggalkan Umar sendirian.
Rasa kekhawatiran yang tak kunjung
selesai menjalar ke janin Maryumah, ia
harus merelakan anak yang masih dalam kandungan delapan bulan, anaknya yang
sudah tak bernyawa terpaksa dilahirkan. Maryumah begitu terpukul, melihat bayi
laki-lakinya meninggal, begitu juga Umar, ia sangat menyesal tidak bisa menjaga
istrinya.
Air mata Maryumah seakan tak mau
berhenti, padahal kematian bayinya sudah lewat satu minggu. Demi kebaikan sang
Istri, Umar menitipkan putri sulungnya yang bernama Asiyah ke ibu angkat yang
juga tinggal di daerah Jember.
Malam itu begitu dingin, Namun Maryumah
menguatkan diri untuk terjaga. Melihat suaminya yang berbaring begitu pulas di
sampingnya, ia tidak ingin membangunkan suaminya. Tapi, kebaikan bukan hanya
untuknya, namun untuk kebaikan keluarga. Di tengah malam, itu mereka berdua
bertasbih, bersujud kepada Allah sebagai sang pencipta, dan Zat yang
membolak-balikkan. Ter-sisip doa diantara dua pasangan tersebut, agar putri
sulungnya bisa kembali dekat pada mereka, dan agar mereka kembali di karunia
anak.
Meski ngantuk terdera, selama beberapa
bulan, Maryumah dan Umar selalu terjaga saat tengah malam tiba, saat yang
terdengar hanyalah suara ayam yag berkokok saling bersahutan. Hingga, setelah
enam bulan, tibalah waktunya doa mereka terjawab.Begitu bahagianya Maryumah merawat
janin di dalam kandungannya, hingga setelah sembilan bulan, ia melahirkan
seorang putri kecil yang begitu cantik, yang ia beri nama Amira.
Setelah beberapa tahun kelahiran Amira,
Maryumah dikaruniai dua orang anak laki-laki.
***
Bahagia tak terkira yang dirasakan
pasangan suami istri, ketika mereka kembali ke tempat asal Maryumah. Kepemimpinan
Umar yang tegas membuat Maryumah menjadi lebih tangguh. Ia seperti tak kenal
takut. Meski, letusan Meriam terdengar ketika ia berjalan ribuan kilo meter.
Lima belas tahun, setelah kebebasan
Indonesia dari penjajah, Umar di angkat sebagai ketua pengadilan. Tapi, Umar
juga tidak membiarkan ilmunya hilang begitu saja, ia menjadi seorang guru di
sekolah rakyat. Maryumah begitu bangga dan kagum dengan suaminya. Sebagai istri
yang sholehah, ia menjaga ke dua belas anaknya yang masih kecil-kecil, untuk
menutupi kebutuhan suaminya, Maryumah menerima upah dari hasil menjahit baju.
Keluarga mereka begitu di sanjung dan
dihormati oleh para tetangga. Sampai akhirnya, di suatu malam yang di selimuti
hawa dingin. Membalikkan hidup mereka. Diam-diam, Amira pergi dari rumah
melewati gelapnya malam, air sungai yang tenang seakan ikut menyembunyikan
kepergian-nya.
Bersambung